Abu Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, "Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka. Dan orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia, dan dekat dengan neraka. Sesungguhnya seorang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah daripada seorang ahli ibadah yang kikir.".(H.r. Tirmidzi, Misykat).
Orang yang sedikit mengerjakan shalat sunnah tetapi dermawan, lebih disukai Allah swt daripada orang yang banyak beribadah dan mengerjakan shalat sunnah panjang-panjang. Yang dimaksud ahli ibadah adalah orang yang banyak mengerjakan shalat sunnah. Sedangkan mengerjakan amalan fardhu itu merupakan kewajiban bagi setiap orang, baik ia dermawan atau tidak.
Diriwayatkan dari Imam Ghazali rah.a bahwa suatu ketika Nabi Yahya bin Zakariya a.s bertanya kepada syaitan, "Siapakah orang yang paling kamu sukai, dan siapakah orang yang paling kamu benci?".
Syaitan menjawab, "Saya paling menyukai orang beriman yang bakhil. Dan yang paling aku benci adalah orang fasik yang dermawan.".
Maka beliau bertanya, "Mengapa demikian?" Syaitan menjawab, "Orang yang bakhil karena kebakhilannya sudah cukup untuk membawanya ke neraka Jahannam. Akan tetapi aku selalu memikirkan tentang orang fasik yang dermawan, jangan-jangan karena kedermawanannya Allah swt akan mengampuninya.". (Ihya' Ulumuddin).
Yakni, Allah swt suatu ketika akan ridha kepadanya karena kedermawannya. Kefasikan dan dosa seumur hidup tidak ada artinya dibandingkan dengan lautan ampunan dan rahmatNya. Dia berkuasa untuk mengampuni semuanya. Dengan demikian, usaha syaitan yang selalu membujuknya untuk melakukan dosa menjadi sia-sia.
Dalam sebuah hadits disebutkan, "Orang yang dermawan berarti berprasangka baik kepada Allah swt, dan orang yang kikir berarti berprasangka buruk terhadap Allah swt.". (Kanzul-'Ummal).
Orang yang berprasangka baik kepada Allah berarti memahami bahwa Al-Malik Yang Maha Memberi berkuasa memberinya lagi. Orang seperti ini sudah barang tentu tidak diragukan lagi kedekatannya kepada Allah swt. Sedangkan orang yang berprasangka buruk kepada Allah berarti beranggapan bahwa hartanya akan habis, karena tidak ada sumbernya lagi. Orang seperti ini tentu saja jauh dari Allah swt, karena ia menganggap bahwa khazanah Allah swt itu terbatas.
Padahal, harta kekayaan itu berasal dari Allah swt, dan berbagai asbab untuk memperoleh harta itu sesungguhnya berada dalam genggaman kudrat-Nya. Bila Dia menginginkan, dapat saja para pedagang itu tidak memperoleh keuntungan sedikit pun, atau para petani menebar benih tetapi tanaman tidak tumbuh. Jika semua ini datang karena pemberian Allah swt, tentu tidak ada gunanya mengkhawatirkan bahwa harta yang disedekahkan akan habis.
Masalahnya, setelah kita berikrar dengan lisan, kita tidak meyakini bahwa semua itu semata-mata merupakan pemberian Allah swt dan kita tidak memiliki apa-apa. Para sahabat r.hum memahami bahwa harta yang mereka miliki semata-mata merupakan pemberian Allah swt. Mereka sangat yakin bahwa Dzat Yang memberi hari ini, besok tentu akan memberi juga. Karena itu, mereka tidak berpikir panjang untuk membelanjakan semuanya.
Lihat gambar di atas.. Ibarat air dalam sumur, jika ditimba akan keluar lagi air dari sumber yang bersih dan suci. Jika air dalam sumur dibiarkan (disimpan), justru air menjadi kotor dan tidak dihinggapi banyak kuman.
Jadilah seperti sumur zam-zam, yang diminum jutaan orang tiap saat sejak ribuan tahun namun tiada mengering jua...