Abu Nawas adalah sosok yang dicintai oleh rakyat. Bahkan, ketenarannya mengalahkan raja Harun. Kecerdikan Abu Nawas sudah diketahui oleh semua orang. Raja Harun Ar Rasyid pun mengakui kepandaian Abu Nawas dalam banyak hal. Raja sering meminta bantuan kepada Abu Nawas dalam menyelesaikan banyak masalah kenegaraan, hingga pribadi. Hingga pada akhirnya, sang raja berkeinginan mengajak Abu Nawas untuk tinggal bersamanya di istana.
Abu Nawas diberi kebebasan untuk masuk istana, tanpa prosedur yang rumit. Dengan adanya Abu Nawas di istana, raja tidak bingung lagi ketika hendak meminta pendapat atau pun solusi darinya. Abu Nawas kini dijadikan sebagai penasehat raja.
Sekian lama tinggal di istana, timbul kebosanan di hati Abu Nawas. Ia tidak biasa dengan gaya hidup serba mewah. Berfoya-foya bukanlah kebiasaannya. Meski semua keinginannya disediakan, namun Abu Nawas tidak betah tinggal di istana. Ia ingin berada di luar istana. Abu Nawas rindu terhadap sawah ladangnya, hewan ternak, dan kampong halamannya.
Oleh karenanya, terbersit keinginan di hati sang Mullah untuk meninggalkan istana, dengan segala kemewahannya. Maka, sang Mullah memutar otaknya untuk menemukan cara keluar dari istana.
Hingga larut malam Abu Nawas akhirnya dapat memejamkan mata, mencari cara yang jitu. Mencari alasan yang tepat.
Esok harinya, ia menuju ke ruang utama istana. Suasana ruangan masih sepi, hanya ada beberapa orang pengawal raja. Raja masih tidur di kasurnya. Abu nawas bergerak mendekati singgasana raja dan duduk di atas kursi raja. Tidak berhenti disitu. Bahkan, Abu Nawas mengangkat sebelah kakinya untuk ditaruh di atas kaki satunya. Abu Nawas berlagak seolah raja.
Melihat gelagak Abu Nawas yang dianggap tidak sopan ini, para pengawal segera menangkapnya. Tiada seorang pun yang boleh duduk di atas singgasana, kecuali baginda sendiri. Hal ini dianggap kejahatan besar, resiko hukuman mati bagi yang melanggarnya.
Para pengawal menyeret Abu Nawas untuk turun dari singgasana tersebut, kemudian mereka memukulinya.
Abu Nawas pun berteriak dan mengerang kesakitan, hingga membuat raja terbangun dan datang menghampirinya.
"Hai pengawal, ada apa ini? Kenapa kalian memukuli Abu Nawas?" tanya raja.
"Ampun, paduka. Abu Nawas telah berbuat lancang dengan duduk di atas singgasana tuanku, kami pun terpaksa memukulinya," jawab salah satu pengawal.
Sesaat kemudian, Abu Nawas mendadak menangis. Ia menangis histeris dan berteriak keras sekali sehingga seluruh penghuni istana mendengarnya.
"Benarkah yang dituduhkan oleh pengawal kepadamu, hai Abu Nawas?" tanya Raja Harun.
Abu Nawas diberi kebebasan untuk masuk istana, tanpa prosedur yang rumit. Dengan adanya Abu Nawas di istana, raja tidak bingung lagi ketika hendak meminta pendapat atau pun solusi darinya. Abu Nawas kini dijadikan sebagai penasehat raja.
Sekian lama tinggal di istana, timbul kebosanan di hati Abu Nawas. Ia tidak biasa dengan gaya hidup serba mewah. Berfoya-foya bukanlah kebiasaannya. Meski semua keinginannya disediakan, namun Abu Nawas tidak betah tinggal di istana. Ia ingin berada di luar istana. Abu Nawas rindu terhadap sawah ladangnya, hewan ternak, dan kampong halamannya.
Oleh karenanya, terbersit keinginan di hati sang Mullah untuk meninggalkan istana, dengan segala kemewahannya. Maka, sang Mullah memutar otaknya untuk menemukan cara keluar dari istana.
Hingga larut malam Abu Nawas akhirnya dapat memejamkan mata, mencari cara yang jitu. Mencari alasan yang tepat.
Esok harinya, ia menuju ke ruang utama istana. Suasana ruangan masih sepi, hanya ada beberapa orang pengawal raja. Raja masih tidur di kasurnya. Abu nawas bergerak mendekati singgasana raja dan duduk di atas kursi raja. Tidak berhenti disitu. Bahkan, Abu Nawas mengangkat sebelah kakinya untuk ditaruh di atas kaki satunya. Abu Nawas berlagak seolah raja.
Melihat gelagak Abu Nawas yang dianggap tidak sopan ini, para pengawal segera menangkapnya. Tiada seorang pun yang boleh duduk di atas singgasana, kecuali baginda sendiri. Hal ini dianggap kejahatan besar, resiko hukuman mati bagi yang melanggarnya.
Para pengawal menyeret Abu Nawas untuk turun dari singgasana tersebut, kemudian mereka memukulinya.
Abu Nawas pun berteriak dan mengerang kesakitan, hingga membuat raja terbangun dan datang menghampirinya.
"Hai pengawal, ada apa ini? Kenapa kalian memukuli Abu Nawas?" tanya raja.
"Ampun, paduka. Abu Nawas telah berbuat lancang dengan duduk di atas singgasana tuanku, kami pun terpaksa memukulinya," jawab salah satu pengawal.
Sesaat kemudian, Abu Nawas mendadak menangis. Ia menangis histeris dan berteriak keras sekali sehingga seluruh penghuni istana mendengarnya.
"Benarkah yang dituduhkan oleh pengawal kepadamu, hai Abu Nawas?" tanya Raja Harun.
"Benar, tuanku," jawab Abu Nawas.
Mendengar jawaban itu, raja terkejut. Menurut peraturan, siapa saja yang duduk di singgasana selain raja, akan diberi hukuman mati. Bagaimana pun, raja tidak tega terhadap Abu Nawas, mengingat jasa yang sangat banyak terhadap kerajaan.
"Sudahlah, berhentilah menangis. Aku tidak bakalan menghukum engkau, Abu Nawas" ucap sang raja.
"Wahai, tuanku. Sebenarnya bukan kesakitan atau hukuman yang aku tangisi. Hamba menangis karena iba terhadap engkau, paduka" ucap Abu Nawas, hingga membuat raja tercengang.
"Kenapa justru engkau merasa iba terhadapku?" tanya raja.
Abu Nawas pun menjawab,
"Wahai, tuanku. Hamba hanya duduk di singgasana sekali saja, namun mereka memukuliku dengan sangat keras. Tuanku telah mendudukinya selama 20 tahun. Pukulan sekeras apa, kelak akan paduka terima? Malang sekali nasib engkau, tuanku" jawab Abu Nawas.
Semua orang yang menyaksikan peristiwa itu tercengang dan bengong. Namun, raja faham maksud kata-kata Abu Nawas.
Raja tidak menghukum Abu Nawas dengan hukuman mati, cuma mengeluarkannya dari lingkungan istana.
"Baiklah, sekarang engkau boleh keluar dari istana ini" Ucap raja.
"Terima kasih, tuanku. Akhirnya engkau mengerti keinginanku" sahut Abu Nawas seraya menjabat tangan Raja Harun dan pamit untuk segera keluar dari istana.
Mendengar jawaban itu, raja terkejut. Menurut peraturan, siapa saja yang duduk di singgasana selain raja, akan diberi hukuman mati. Bagaimana pun, raja tidak tega terhadap Abu Nawas, mengingat jasa yang sangat banyak terhadap kerajaan.
"Sudahlah, berhentilah menangis. Aku tidak bakalan menghukum engkau, Abu Nawas" ucap sang raja.
"Wahai, tuanku. Sebenarnya bukan kesakitan atau hukuman yang aku tangisi. Hamba menangis karena iba terhadap engkau, paduka" ucap Abu Nawas, hingga membuat raja tercengang.
"Kenapa justru engkau merasa iba terhadapku?" tanya raja.
Abu Nawas pun menjawab,
"Wahai, tuanku. Hamba hanya duduk di singgasana sekali saja, namun mereka memukuliku dengan sangat keras. Tuanku telah mendudukinya selama 20 tahun. Pukulan sekeras apa, kelak akan paduka terima? Malang sekali nasib engkau, tuanku" jawab Abu Nawas.
Semua orang yang menyaksikan peristiwa itu tercengang dan bengong. Namun, raja faham maksud kata-kata Abu Nawas.
Raja tidak menghukum Abu Nawas dengan hukuman mati, cuma mengeluarkannya dari lingkungan istana.
"Baiklah, sekarang engkau boleh keluar dari istana ini" Ucap raja.
"Terima kasih, tuanku. Akhirnya engkau mengerti keinginanku" sahut Abu Nawas seraya menjabat tangan Raja Harun dan pamit untuk segera keluar dari istana.